“Kapan menikah?”
Sebuah pertanyaan klasik yang sering diutarakan seseorang, yang mana katanya hanya ingin mengingatkan bahwa menikah itu penting. Seberapa pentingkah menikah itu?
Apakah menikah harus sesegera mungkin? Lalu, kapankah itu? Apakah setelah melihat teman sepermainan menggendong anak-anaknya ketika mendatangi reunian? Saat orang tua selalu membayangkan dan menanyakan tentang kapan akan memiliki seorang cucu yang lucu? Atau setelah saudara maupun orang terdekat selalu menanyakan tentang kapan menikah? Jika alasannya adalah dari beberapa pertanyaan tersebut, berarti menikah hanya untuk kebutuhan orang lain, bukan untuk kebutuhan diri sendiri.
Saat terhimpit desakan dari orang lain, biasanya gengsi akan muncul, meyakinkan diri untuk merasa mampu dan merasa “harus segera menikah” demi menjawab tantangan dari orang-orang sekitar. Apakah demikian itu benar?
Sebenarnya, apa sih salahnya melihat teman-teman kita sudah menikah atau sudah memiliki anak? Tidak ada. Yang salah adalah keirian yang ada di dalam hati, “mengapa aku belum menikah dan punya anak?” Terkadang yang memaksa tidak selalu dari luar, tapi dari dalam diri sendiri pun kadang kalanya juga ikut-ikutan memaksa, bagi orang yang tingkat kepercayadiriannya rendah. Padahal nyatanya, di balik senyum mereka yang sudah menikah ada beberapa di antaranya yang menyembunyikan aib yang sangatlah besar, seperti hamil di luar nikah, kesedihan akibat desakan dari perjodohan orang tua, atau penyesalan akibat korban keterburu-buruan menikah, yang sebenarnya belum mampu namun memaksakan untuk menikah karena desakan dari lingkungan, sehingga di dalam rumah tangganya hanya ada perdebatan dan perselisihan.
Kemudian tentang orang tua yang memberi kode ingin memiliki cucu. Apakah mereka salah? Tentu tidak. Cucu adalah anugerah bagi mereka kaum orang tua di masa tua. Pasti akan merasa sangat bahagia kala anaknya mampu berketurunan dan keturunannya tersebut selalu tersenyum dan memanggil nama mereka dengan sebutan nenek atau kakek. Namun, apakah mereka tidak sadar bahwa terkadang perkataan adalah sebuah doa, yang manakalanya bisa menjadi kenyataan yang berbahaya? Bisa saja anaknya dengan segera memberikannya cucu dengan cara yang ilegal, yang nantinya malah membuat mereka sangat malu dan malah bisa jadi tidak mau mengakui cucunya tersebut dengan alasan "anak haram". Siapa yang jadi korban? Tentu saja semua pihak.
Dan, pertanyaan tentang “kapan menikah?” dari segala penjuru manusia, entah itu keluarga, saudara, sahabat, teman lama yang sok akrab, maupun orang yang tak dikenal dan baru saja bertemu di sebuah hajatan menciptakan sebuah perasaan jengkel yang teramat sangat. Kesan "kurang ajar" memang sangat pantas diberikan untuk mereka, karena demi apa mereka mengurusi masalah pribadi orang lain? Sedangkan kontribusi mereka di dalam hidup orang lain tidak ada, selain mengejek dan memaksa orang lain tersebut untuk segera menikah agar sama sepertinya. Biasanya, orang yang seperti ini adalah orang yang sudah mengalami banyak penderitaan di dalam hubungan pernikahannya, kemudian ingin orang lain merasakan apa yang mereka rasakan, entah untuk hasil akhir yang tak jelas, karena pada akhirnya yang merasakan adalah orang lain, bukan dirinya yang sering menagih dengan pertanyaan “kapan nikah?” tersebut.
Andai saja ada yang sangat tertekan, kemudian menikah dengan alasan “biar tidak ditanyai terus sama teman-teman,” lantas mencari pasangan dengan asal-asalan, siapapun tidak apa-apa asal menikah, tanpa melihat sudah mampu atau belum dirinya untuk membina rumah tangga, dan pada akhirnya hanya berakhir di pengadilan agama untuk berpisah, karena tak menduga bahwa tanggung jawab berumah tangga tidaklah ringan, dan endingnya trauma dengan menikah, menjanda atau menduda hingga tua. Apakah para korban dari tekanan pertanyaan akan berpikir sejauh itu? Dan, apakah para penanya yang tak bertanggung jawab, hanya melempar pertanyaan lalu pergi tanpa mau tau pernah berpikir tentang resiko dari pertanyaannya mampu menciptakan kehancuran bagi hidup orang lain? Tentu saja tidak, karena hal seperti ini sudah menjadi budaya dan mengakar di alam bawah sadar para manusia-manusia bumi nusantara ini (walau tidak semuanya).
Dan, bagaimana cara mengatasi semua ini? Caranya adalah dengan berpikir. Tuhan memberikan kita akal sebagai alat bertahan hidup, dari para manusia yang suka mengakali manusia lainnya, dengan menyalahgunakan fungsi dari akal mereka. Latihlah akalmu untuk mengembalikan akal-akalan mereka. Memang tidak mudah, apalagi bagi beberapa manusia yang sering membiarkan akalnya tertidur terlalu lama, atau bagi mereka yang sudah biasa menurut atau dididik menjadi penurut sampai-sampai mengenyampingkan akalnya demi memuaskan mereka yang sudah membentuknya seperti itu.
Tips untuk melawan pertanyaan “kapan nikah?”
Menggunakan akal berarti meredakan emosi dan lebih memilih berpikir untuk menemukan jalan lain agar bisa menyelamatkan diri, entah itu untuk membalas mereka yang sedang merasa berkuasa dengan akal mereka atau alasan apapun. Jika terbawa emosi, maka seseorang akan menjadi acak dan akan melakukan tindakan asal yang nantinya hanya akan menciptakan sebuah penyesalan. Tenangkan pikiran, berpikir secara nakal (tapi wajar), dan wujudkan dengan senyuman.
Contoh 1
A : “Kapan nikah?”B : “Ingin jawaban pasti atau jawaban main-main?”A: “Ya yang pasti dong, masak nikah main-main sih!”B: “Kalau yang pasti, silahkan taya ke Tuhan. Dialah yang menentukan jodoh dan kapan menikahnya seseorang. Sudah tau kan bagaimana cara ketemu Tuhan?”A : “Lah, itu mah bukan jawaban! Yaudah, jawaban yang main-main saja?”B : “Main-main? Katanya menikah bukanlah hal yang main-main? Kok nggak konsisten sih?”
Sudah dipastikan, orang tersebut pasti akan sebal dan berhenti bertanya. Saat ia mengambek atau diam, di saat itulah waktunya kita pamit atau mengubah tema perbincangan agar tidak terjadi permusuhan.
Contoh 2
A : “Kapan nikah?”B : “InsyaAllah tahun ini.”A : “Beneran?! Bulan apa?! Kok nggak ngomong-ngomong sih?!”B : “Iya, insyaAllah tahun ini. Jika ada halangan, ya insyaAllah tahun besok. Namun, jika terjadi halangan lagi ya insyaAllah tahun besoknya lagi. Blablabla…”
Pasti yang bertanya akan merasa kesal dan malas untuk bertanya lagi. Hal ini sudah mimin terapkan di beberapa orang tua, tetangga, bahkan kepada seorang petinggi negara, yang berakhir dengan gelak tawa, tanpa menciptakan sebuah permusuhan, dan berakhir dengan tidak ditanyainya lagi perihal “kapan nikah”.
Sebenarnya ada banyak cara untuk menanggulanginya. Dan, bercanda adalah salah satu caranya. Gunakan akal untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentunya dengan caramu sendiri. Tak harus sama, yang penting jangan sampai atau menciptakan emosi, karena emosi hanya akan merusak akal dan segala hubungan.
Terakhir, menikahlah jika sudah merasa mampu dan sudah merasa menemukan seseorang yang tepat, janganlah menikah hanya karena tekanan tanpa adanya perasaan.
Joe Azkha