Andin melambaikan tangannya, seakan tau benar bahwa aku yang hendak ia temui. Kubalas lambaian tangannya, seakan sudah tau benar juga bahwa dia yang hendak aku temui. Ia langsung berdiri dengan masih menyedot jus alpukat di tangan kanannya. Kudekati dengan sedikit getar di kaki, namun tetap optimis karena sudah bertekat bulat.
“Sepertinya aku pernah melihatmu. Emm…” ucap Andin dengan gaya berpikir, memegang dagunya dan menatapku tajam-tajam. “Kamu anak yang minggu lalu satu mobil denganku kan?!” lanjutnya lantang, yang membuatku sedikit kaget.
“Yyy—ya, saat ayahku menjemput kita bersamaan secara dadakan,” jawabku grogi.
Tak kusangka, parasnya sangatlah menawan. Kulitnya putih seperti kapas, alisnya tebal sedikit menggunung, mata belo seperti boneka, dan gigi gingsul yang selalu menambahkan bumbu manis disetiap senyumannya. Aku hanya bisa menunduk, merasa sangat tak pantas, sangat insecure karena sadar bahwa aku bukanlah pria yang bisa dikatakan sebanding dengannya. Tak hanya berfisik sempurna, tetapi juga kaya, bahkan kaya raya, karena semua keturunan dari buyutnya Doni seperti ditakdirkan menjadi ahli materi di dunia ini.
“Lalu, ada apa? Kata Doni kau ingin menemuiku?” tanya Andin yang semakin membuatku menunduk malu. “Hey!”
“Eh, I—iya?” jawabku kaget.
“Ada apa, Panda? Jawab dong, jangan tidur. Haha,” ucapnya sembari tertawa di depanku.
“Kok panda? Namaku Pandu, bukan Panda, kalau panda kan yang di kebun binatang itu ya? Yang di penjara di dalam sel, tak boleh keluar dengan masa tahanan selamanya. Tak bisa apa-apa, selain diam, makan, tidur, dan dilihat anak-anak TK yang study tour ke sana. Hahaha,” jawabku yang kuharap bisa ikut serta menghiasi suasana gembira ini. “Ha-ha-ha…” tawaku wagu karena malah membuat Andin terlihat ilfil.
Wajah Andin begitu datar, sepertinya guyonanku tidak selevel dengannya. Aku mengacau. Dan aku sadar, aku tak memiliki bakat di bidang komedi sama sekali.
“Gimana? Ada apa?” tanya Andin.
“Eh iya, maaf untuk yang kemarin ya? Aku tak tahu jika—“ ucapku belum rampung.
“Udah, nggak perlu dipikirin. Lagi pula sudah biasa juga kok aku pulang sore, aku kan ikut eskul madding, haha.”
“Tapi kan kemarin jadi dapat marah ayah Kau, dan itu gara-gara aku pastinya!”
Wajah Andin kembali datar. “Darimana kamu tau aku dimarahin Papahku?”
Aku lupa. Aku mendapatkan informasi itu dari Doni. Dan aku belum mengerti benar perempuan itu seperti apa. Apa dia adalah seseorang yang akan marah ketika hidupnya terlalu diusik oleh orang lain? Ataukah dia adalah seseorang yang akan marah ketika ada orang lain yang sok tau atau sok ikut campur mengenai kehidupannya? Atau mungkin dia adalah seseorang yang tidak akan marah saat diapa-apakan bagaimana juga? Yang baru aku tau, dia adalah seseorang yang akan berubah wajah menjadi malas ketika lelucon orang lain tidak selevel dengannya.
“Jujur! Jangan hanya diam saja. Darimana kamu tau kalau aku dimarahin papahku? Jawab, Nda!” paksa Andin yang masih memanggilku dengan sebutan Panda.
Dan, aku sampai di mana aku menjadi seseorang pria yang sangat ketakutan di depan wanita. Aku takut untuk menentukan jawaban apa yang tepat untuk aku lontarkan. Aku takut jika jawabanku nanti malah membuat Andin menjadi marah dan malah membenciku.
“Hahaha, wajah kamu lucu, Nda!” ucapnya sembari tertawa terbahak-bahak. “Hahaha, udah-udah-udah. Aku tau, pasti kamu dapatkan informasi itu dari Doni kan? Dia memang begitu anaknya, suka membesar-besarkan masalah. Padahal enggak seperti itu, Papahku cuma mengingatkanku agar jangan pulang terlalu larut saja karena Dia khawatir. Udah deh, jangan kamu keluarkan lagi raut wajah itu! Hahaha” lanjutnya yang ternyata mentertawakan ekspresi maluku.
Lega. Ternyata Andin tak marah akibat celetukku tadi, yang sok tau dan percaya benar dengan ucapan Doni. Rasanya sangat plong, seperti telah menyelesaikan satu soal pythagoras dari Pak Janu ketika dihukum di depan kelas akibat bergurau dengan Doni.
“Wajahku lucu kan? Seperti panda yang Kau maksud tadi? Hahaha,” jawabku spontan.
***
“Nggak lucu!” jawab istriku lantang. “Kamu lupa, Mas? Kita ini udah bayak utang ke Bu Laras, Mas! Masa mau utang lagi. Rumah sakit ini juga sepertinya tak ramah untuk rakyat seperti kita. Percumah tiga bulan lalu kamu ikut kampanye, keliling-liling kota dengan menyewa motor, yang pada akhirnya bayaran kampanyemu itu habis ludes, malah tombok karena mengganti knalpot yang kamu rusak demi menciptakan suara yang merusak telinga itu. Jika pemerintah benar-benar melek, peduli dengan rakyatnya, seharusnya mereka tidak membuatku sewas-was ini, Mas!
“Kamu juga tau, Ririn butuh makan, aku juga. Tau gini, aku menyesal sudah melawan Papah demi memilihmu!” lanjut Andin, istriku, dengan rambatan air bening yang keluar dari ujung-ujung mata indahnya.