"Gimana? Jadi kenalan dengan sepupuku nggak?!" goda Doni, teman sebangku SMPku, yang juga anak dari bos ayahku, yang selalu baik dengan keluargaku.
"Jadi lah... tapi—"
"Tapi Kau akan pergi lagi, kan?" potong Doni. "Andai Kau tau, kemarin Andin kecewa berat saat nungguin kau berjam-jam di belakang sekolahnya. Kau bilang akan pergi sebentar, ternyata Kau tak datang sampai siang. Kata ayahku, dia dapat marah besar dari ayahnya karena pulang sore. Aku jadi bingung, gimana caranya atur waktu lagi untuk Kau," lanjutnya sedikit kecewa.
"Bu-bukan gitu maksudku, Don. Tapi kemarin ada acara mendesak banget soalnya. Jadi, mohon maaaaaaaaaf banget. Aku janji, aku nggak akan sia-siain kesempatan itu lagi jika saudara sepupumu itu berkenan meluangkan waktunya kembali untukku. Aku janji, Don," rengekku penuh harap.
Doni terdiam, membuang muka, menatap keluar ruangan melalui pintu keluar kelas yang tampak beberapa anak berlarian melalu-lalang ketika jam istirahat tiba. Aku sungguh sangat menyesal, tak seharusnya sebagai lelaki aku mudah mengingkari janji. Apalagi janji dengan orang yang selalu aku gadang-gadang, yang selalu aku awang-awang ketika hendak memejamkan mata di setiap malam. Itu bisa jadi menjadi kesalahan terbesar di dalam hidupku yang pernah aku lakukan.
"Baiklah, tapi ini yang terakhir. Aku tak enak dengannya, aku ini saudaranya Ndu. Kalau kali ini Kau kacaukan lagi, aku nggak mau lagi njomblangin Kau dengannya," ucap Doni tiba-tiba yang sangat menggirangkan hatiku.
"Be-benarkah itu, Don? Ka-kau benar-benar akan kasih aku kesempatan kedua buatku?!" tanyaku setengah tak percaya.
"Ya," jawab Doni singkat.
"Uww-waaaaaaaaaa!"
"Berisik!" teriak Pak Janu, guru matematikaku yang menunggu di meja guru depan kelas karena jadwal mengajarnya terpotong oleh jam istirahat. "Kalau mau main, keluar sana! Jangan bikin gaduh di kelas! Kamu mau tanggung jawab kalau aku salah memasukkan rekap nilai semesteranmu, Yon?!" lanjutnya dengan wajah memerah penuh emosi.
"Ma-maaf, Pak. Bu-bukan—" sahutku terbata-bata karena takut.
"Bukan apa! Aku dengar dengan jelas, dan Kau duduk di depanku! Kau mau membohongiku?!” bentaknya lagi di sela-sela gagapku.
“Bukannya bohong, Ppp-pak, tapi akk-aku bukanlah—“
Pak Janu mendekatiku yang masih gagu sembari mengenakan kacamata tebalnya. “Lah, Yono tadi ke mana?! Setelah buat masalah langsung pergi aja, gak punya adab! Siapa sih gurunya?!”
“Ba-Bapak kan guuu—“ celetukku dalam gagu.
“Apa Kau bilang?!” potong Pak Janu dengan wajah seram.
Berpikir keras, mencari alasan untuk lolos dari jebakan macan. “Bapak kan guuu…guanteng banget, mana mungkin sih bapak punya satu istri? Ha-ha-ha.”
Pak Janu menatapku kaku.
Lima menit setelah itu bel masuk berbunyi sangat nyaring melalui pengeras suara berwarna abu-abu yang menempel di atas papan tulis, tepat di bawah burung garuda yang dihimpit dua foto orang ternomor satu di negriku. Semua murid pun masuk, dan aku keluar. Aku merasa sangat bodoh, bisa-bisanya aku berpikir hendak mengajaknya bercanda tanpa menyadari bahwa dia adalah guru yang paling dianggap galak nomor satu di SMPku.
***
Jam dua di hari berikutnya. Jam pulang tiba. Aku langsung berlari menuju gedung SMP 2 yang jaraknya cukup dekat dengan sekolahku, sekitar satu kilometer, di mana itu adalah sekolah yang Andin tempati. Doni sudah membuatkanku janji, di tempat yang sama, di belakang sekeloahnya Andin.
Siang itu cukup panas, keringat dengan deras membasahi pakaian OSISku. Namun semua itu tak membuatku gentar, karena bagiku semua ini seperti cita-citaku yang pintu suksesnya sudah terlihat jelas di depan mata, tinggal sedikit lagi aku perjuangkan, yakni untuk mengenal dan berakrab dengan Andin. Kulihat dia, berbaju sama dengan bet sekolah yang berbeda, duduk menandar tembok belakang sekolah dengan menggenggam jus buah di tangan kanannya.