“Ayah!”
“Mas-mas-mas, tenang mas!”
“Di mana Ayah?! Tolong tahan Ayah! Jangan biarkan dia pergi lagi! Dia belum sehat betul! Ayah!”
“Mas! Sadar, Mas! Ayahmu sudah tiada!”
“Apa katamu?! Sok tau! Tolong! Siapa pun! To—tolong…” teriakku dalam isak.
Aku tak tahu kenapa aku berbaring di kasur putih, dengan perban di kaki dan tancapan jarum infus di tangan kiriku. Begitu juga dengan Andin, istriku, yang tampak mengusap ujung matanya dan kesusahan menenangkan Ririn yang juga menangis, bahkan sangat kejer, begitu jelas terdengar di telingaku.
Apa yang terjadi? Aku benar-benar bingung. Di mana ayah? Apakah ia sudah pergi? Apakah ayah sudah benar-benar pergi lagi? Aku benar-benar membutuhkan jawaban.
Renungan itu membuat emosiku sedikit mereda. “Dik, sebenarnya ini di mana?” tanyaku bingung.
Andin tak menjawab. Ia tetap sibuk menenangkan Ririn. Ingin membantunya, tapi entah kenapa tubuhku sangat berat untuk kugerakkan. Kutatap langit-langit putih yang bersih, hampir tak ada noda, selain satu sawang kecil yang menggantung lekat di ujung eternit.
Tanpa diundang, perlahan rasa sakit mulai datang. Mulai dari arah kepalaku yang sangat pusing, menjalar ke leherku yang sangat pegal, dadaku yang sangat terasa menusuk-nusuk, tangan kananku yang kesemutan, hingga kaki-kakiku yang sudah tak terbayangkan lagi rasanya. Sangat sakit. Walau lebih sakit saat melihat ayah kembali pergi meninggalkanku.
“Kamu gila, Mas!” marah istriku tiba-tiba. “Siapa yang akan tanggung biaya rumah sakit ini! Kita tak punya apa-apa lagi! Bahkan sekarang, sepertinya kita tak lagi punya harga diri! Kamu gila!” lanjutnya.
“Apa? Rumah sakit? Kenapa bisa aku ada di rumah sakit?” tanyaku bingung.
“Kau lupa, Mas? Kau kemarin tiba-tiba berlari keluar rumah, saat melihat Pajero silver mirip kepunyaan Doni melintas cepat di depan rumah.”
Potongan ingatan itu langsung muncul di awang-awangku. Benar, waktu itu aku mengejar mobil, mobil berwana putih metalik, yang kukira kepunyaan Doni, setelah pulang dari rumah lamanya yang belum dapatkan alamat rumah barunya. Yang kuingat, aku hanya mengejar mobil itu beberapa langkah saja, dan, ayah. Ya, dan aku bertemu ayah, yang bertatih-tatih terlihat letih di seberang jalan.
Apakah ingatan itu palsu? Tapi kenapa ingatan itu berasa sangat nyata? Aku mendengar sangat jelas, ayah memanggil namaku dengan sangat jelas. Itu benar suara ayah, dan aku berjalan ke arahnya, berdiri, menatap tak percaya di depannya, bahkan aku menyentuhnya dengan tanganku sendiri, menatihnya ke teras rumah kosong di seberang jalan rumahku. Apakah semua itu hanya mimpi belaka? Aku tak percaya, melebihi rasa tak percayaku terhadap kematian ayah yang sampai saat ini belum tervoniskan jasad pastinya.
“Berarti Ayah tak di sini?” tanyaku penuh rasa ketidak percayaan.
“Kau hampir saja bertemu dengannya!” jawab Andin penuh emosi. “Sadar, Mas! Siapa yang akan bayar biaya rumah sakit ini?! Kita tak punya jaminan kesehatan, baik itu dari pemerintah maupun dari perusahaan, ini semua karena kamu nggak punya kerjaan!” lanjutnya.
Aku sadar, aku telah menyia-nyiakan orang-orang di sekitarku, yang selalu menyayangiku, yang selalu bergantung padaku, yang selalu bermimpi menantikanku pulang dan melingkar di meja makan untuk makan malam seperti umumnya orang-orang yang tak kesusahan.