Pagi berganti pagi. Terus setiap hari Kevin tak kunjung henti untuk menggodai. Kantin yang sebelumnya tempat ternyaman untuk diskusi, kini berganti menjadi tempat yang penuh basa-basi.
Rayuan, buaian, hingga puisi-puisi aneh telah coba Kevin lakukan untuk memagnet sang pujaan. Siapa lagi kalau bukan Senja, sang primadona SMA Merdeka.
Sejak pertama bertemu, Kevin langsung terpikat karena aura yang dipancarkan Senja begitu kuat. Hanya Senja, dan cuma Senja yang mengawang di pikirannya. Menempel di rulung rasa, mencandu tiada tara.
Walaupun Senja selalu menunjukkan wajah bodoamat, sebenarnya getaran-getaran rasa sudah mulai tumbuh tanpa ia suruh. Hal itu ditandakan saat sesekali wajah Kevin muncul dalam ingatan, sebelum dirinya larut dalam pejaman. Cinta bukanlah perkara kata, namun rasa.
***
Di bawah langit jingga, seperti biasa Senja menemani Bi Ina di teras belakang rumah untuk ngopi bersama. Tempat itu sudah biasa dijadikan mereka untuk mencipta suatu karya, tentunya tentang sastra.
"Mak, Senja mau cerita," ujar Senja sembari meletakkan pena dan menghentikan kegiatan menulisnya.
"Sudah ku bilang beberapa kali, panggil aku Bibi! Aku bukan Emak kau!"
Sejak kecil, Senja sudah diajarkan budaya jujur. Sejarah tentang asal mulanya yang merupakan anak temuan sudah lama Bi Ina ceritakan. Tak kaget jika Senja dilarang memanggilnya seperti umumnya seorang anak memanggil ibunya. Walau demikian, Senja selalu menganggap Bu Ina sebagai ibu kandungnya karena hanya dia yang telah membesarkan dan merawatnya hingga sekarang.
"Cepat kau cerita. Srupphhh..." pinta Bi Ina sambil menyeruput kopi hitamnya.
"Jadi gini, Mak. Sepertinya aku sedang jatuh cinta deh," ucap Senja yang membuat Bi Ina meletakkan cangkir kopi yang sedang ia seruput.
Tak seperti biasanya, kali ini senja bercerita tentang hal baru yang bernama cinta. Biasanya hanya menceritakan prestasi, dan prestasi yang membuat Bi Ina sebah dan tak mau mendengarkannya lagi. Baginya, prestasi bukanlah tujuan pasti. Melainkan keikhlasan. Ikhlas dalam berkarya, berbagi, maupun bersosialisasi antar hati.
"Gini. Silakan kamu sketsa hidupmu sendiri. Kemudian imbuhkan warna yang pas, yang menurutmu pantas. Bingkai karyamu itu dengan presisi, hingga kamu yakin kalau itu sudah benar. Barulah kau pamerkan hasil karyamu itu padaku, Nja."
"Tapi, Mak. Aku bingung. Kali ini Aku benar-benar bingung," sahut Senja sambil menjambak rambut di belakang kepalanya.
"Tak apa, karena bingung adalah proses untukmu naik ke satu tingkat lebih tinggi, Nja."
Senja termenung begitu mendung. Kedilemaan mengemuli pikirannya, menyebabkan aliran darahnya mengumpul cepat menuju kepala.
***
Keesokan harinya, kemuraman di wajah Senja sudah tak lagi terlihat. Wajahnya tampak begitu semringah. Sepertinya ia sudah menemukan jawaban dari apa yang ia keluhkan.
Berjalan pelan, menuju tempat antrean. Halte bus dekat rumah Senja selalu menjadi tujuan utama sebelum berangkat ke sekolah.
Saat menunggu angkot yang sering nge-time di sekitar halte bus, tiba-tiba saja melintas sebuah moge di depan Senja. Tampak tak asing, bentuk moge dan cara lambaian tangan dari pemboncengnya sangat begitu khas. Senja pun langsung dapat mengenalinya.
"Duluan ya, Nja. Hihihi," pamit Tasya yang melintas saja di depannya.
Senja hanya tersenyum manis. Tak ada keraguan di wajahnya kala melihat sahabatnya bahagia berboncengan mesra dengan Kevin.
~TAMAT~
===================================
Cerita bersambung yang berjudul Cerita Anak Senja telah usai! Jangan ke mana-mana, tetap stay di anaksenja.com dan tunggu "Season 2"nya di waktu yang akan datang!