" ...
Senja ...
Sejatinya hanya engkau yang paling mengerti rasa
Kau berada di tengah terang ataupun petang
Kadang kau tampak marah
Kala tak mampu memaksa waktu untuk sedikit lebih lama menemanimu
Kadang kau juga tampak bahagia
Kala tersenyum tipis di ujung pandang bersama tarian burung camar."
Tepuk tangan membanjiri ruang pertemuan. Senja, membacakan salah satu puisinya di depan panggung dalam acara perpisahan kelas tiga.
"Apaan tuh, sampah! Cuma baca puisi doang, gue juga bisa!" celetuk Bela sembari naik ke atas panggung. "Minggir Lo. Ganggu tau!" usir Bela.
Bela mendorong Senja hingga terpanting hampir jatuh. Suasana pun berubah menjadi sunyi dan tegang.
Tampak dari jauh, Senja turun lewat tangga samping panggung dengan sangat pelan. Tasya, sahabat terdekat senja pun langsung mendekat dan membela Senja dengan cara khasnya.
"Bela emang bangcyat! Nanti akan ku laporin ke bokap, biar rumahnya dinuklir dan jadi bahan narasi buat film azab!"
Tasya adalah anak gembala, selalu riang serta gembira. Salah satu hal yang paling membuatnya gembira adalah dengan berpisuh ria. Sejak kecil ia dititipkan di rumah pamannya karena ibunya sudah tiada dan ayahnya dinas di perbatasan Malaysia. Pamannya adalah seorang peternak domba. Demi mendapatkan uang jajan lebih, ia rela bekerja di bawah kuasa pamannya seusai pulang sekolah tanpa sepengetahuan ayahnya.
"Eh eh eh ... Udah dong Sya, biarin aja Bela dengan tingkahnya. Lagi pula, tugasku juga udah selesai kok. Hihihi," cengenges Senja dengan lesung di pipi kanannya.
Bela pun memulai aksinya. Dibukanya ponsel dan mencari puisi-puisi di internet. Cukup lama, sampai-sampai ada teriakan dari beberapa peserta di depannya.
"Turun Lo! Kalau mau berdiri doang, di belakang panggung aja!"
"Berisik! Nih, gue mulai nih!" bentak Bela dengan mikrofon panggung.
Akhirnya Bela menemukan judul puisi yang mengikutsertakan namanya. Langsung saja ia klik dan baca.
"Bela Durrr ... " Bela berhenti sejenak, keraguan menyelimutinya ketika membaca judul puisi.
Tampak di belakang audiens, seksi acara sudah memberi kode bahwa waktu telah habis. Tak ada pilihan, Bela pun melanjutkan puisinya.
Baumu wangi
Senyummu seperti melati
Kau tampak sek-si
Ingin segera ku tunggangi ..."
Diam seketika. Sampai akhirnya Bela sadar kalau puisinya tidak seperti apa yang ia harapkan. "Anjir, ini mah belah duren!" pisuh Bela yang masih menempelkan bibirnya di mikrofon.
"Wuahahahahahahahaha ... "
Serentak, semua audiens menertawai Bela yang membaca puisi berjudul tipo. Bela pun berlari menuruni panggung ditemani air mata dan rasa malunya.