“Klunting, bzzzzztt.. bzzzzztt…”
Terdengar bunyi notifikasi pesan pada pukul enam pagi. Icha pun langsung bangun dan melihat notifikasi.
“Selamat pagi sayang :)”
Tampak satu pesan dari Riski, yang menyuntikkan semangat pagi. Memaksa bibir untuk tersenyum secara refleks.
“Ahh.. masih ngantuk nihh….” balas Icha.
“Yaelah, udah jam segini juga. Sana mandi, biar segerrrr…”
“Dingin tauk! Kamu juga belum mandi :p”
Sembari menunggu balasan, Icha menyibakkan rambut panjangnya dan kembali tidur di atas kasur. Ia renggangkan tubuhnya dengan uapan mulut yang terasa sangat nikmat.
“Kata siapa? Aku udah mandi dong. Sana cuci muka dulu” suruh Riski dalam balasannya.
Icha merasa terusik. Ia terlanjur terbuai oleh kenyamanan dalam kemalasan. Sengaja tak membalas, Icha kembali menarik selimut dan memejamkan matanya tipis-tipis.
Hari itu hari minggu, hari yang telah di sepakati untuk bersama-sama melakukan lari pagi. Janji telah mereka buat sejak sabtu malam, namun enyah begitu saja karena buai dari sang malas.
Pukul sembilan pagi Icha kembali bangun. Tubuhnya terasa sedikit pegal, karena lama bermanja-manja di atas kasur kapuknya yang sudah mulai mengeras.
Mengambil ponsel, dan melihat beberapa baris notifikasi dari kekasihnya yang belum ia buka. Serentak ia tersedak, kaget karena ingat tentang satu hal.
“Maaf ya yang, aku lupa. Aku ketiduran barusan, padahal aku udah bangun lho tadi. Minggu besok aja ya? Aku pasti akan bangun lebih pagi, janji! Hehehe..”
Langsung saja ia kirim tanpa membaca pesan-pesan sebelumnya. Ia sadar bahwa kekasihnya adalah orang yang pemaaf. Maka dari itu, ia berpikir bahwa semua masalah akan selesai setelah meminta maaf.
Beberapa menit kemudian ponsel Icha kembali berbunyi. Tak seperti biasanya, kini Riski membalas pesan Icha dengan sangat singkat dan padat.
“OKE”
Icha merasa sangat kesal. Merasa telah menulis sebuah pesan cukup panjang namun hanya mendapat balasan singkat yang dirasa tak mengenakkan.
“Aku udah minta maaf loh?!” balas Icha dengan sedikit emosi.
Icha meninggalkan ponselnya di atas kasur dan beranjak dari kamar. Menuju dapur dan mengambil segelas air putih, Icha masih memikirkan bertapa menyebalkannya Riski.
"Glug..glug.. glug.."
Tegukan air putih yang Icha minum mampu mendinginkan pikirannya. Ia merasa bahwa hal seperti itu bukanlah masalah besar, dan seharusnya tidak usah dibesar-besarkan. Icha langsung meletakkan gelas di meja makan dan berlari menuju kamar.
Meraih ponsel dan langsung membukanya. Hatinya sedikit kecewa karena pesannya tidak di jawab. Namun, niatannya untuk meminta maaf masih tetap kukuh. Langsung saja ia tekan tombol hijau dan ponselnya terhubung dengan Riski.
“Kamu marah ya?” tanya Icha sedikit malu.
“Enggak kok.”
“Maafin aku ya?”
“Iya, udah ku maafin kok. Lain kali jangan diulang ya? Aku capek yang nungguin tau,” sahut Riski dengan suara lembut.
“Hah?! Kamu udah di alun-alun kota?! Kok gak bilang sih!!!” ujar Icha dengan sedikit emosi.
Icha merasa jengkel karena Riski sudah pergi tanpa dirinya. Pikirnya, Riski masih berada di rumah untuk menunggu konfirmasi darinya.
“Kan kita udah janjian di sini, masak aku ingkari sih?” jawab Riski dengan santai.
Tiba-tiba saja icha mendengar suara seorang cewek di dalam panggilannya.
“Ayo ikut aku, nanti nyesel loh kamu!” ucap seorang cewek dengan manja di dalam telepon.
“Sttttttt! Sana duluan, nanti aku nyusul! Husshhh..” bisik Riski kepada cewek lain di telepon.
Hal tersebut membuat jantung Icha berhenti berdetak beberapa saat. Pikiran anehnya pun mucul. Kini ia menyadari bahwa Riski sedang tidak sendiri.
“Halo?? Maaf yang, barusan ada gangguan teknis. Kamu masih...” ucap Riski belum rampung.
“Tutt..”
Icha langsung mengakhiri panggilannya. Air matanya tiba-tiba mengalir tanpa perintah. Menyesal sudah, nasi sudah berubah menjadi bubur. Pikirannya memaksa untuk mengiyakan pernyataan bahwa adanya sebuah perselingkuhan.
Ponselnya berkedip-kedip beberapa kali, namun tak dipedulikan karena sibuk mengusap air mata. Sesal bercampur emosi, tak terkendali dan hanya bisa memaki diri sendiri.
***
Baca juga: Cerpen: Salah Siapa? (Versi Riski)