“Mas, kok cepet banget sih keluarnya!” gertak Juminten di atas ranjang.
“Lha gimana lagi? Aku enggak kuat, Dik,” sahut Pras dengan muka melas.
“Baru juga masuk, langsung keluar. Kamu enggak malu apa kalau sampai tetangga tau?! Malu aku mas, malu!”
Malam itu, malam Jum'at. Di mana Pras menceritakan keputusannya untuk keluar dari instansi yang baru saja dimasukinya. Belum ada tiga bulan, Pras sudah kembali menjadi pengangguran lagi.
“Dik, percaya kan sama Mas?” tanya Pras dengan memegang bahu istrinya.
“Percaya apa, malu aku Mas!” sahut Juminten sembari menepis tangan Pras.
“Lho-lho-lho ... Ya jangan ngamuk dong, Dik. Percaya sama, Mas. Gusti itu tidak tidur.”
“Iya percaya, tapi kamu yang tidur terus Mas!” ketus Juminten sembari beranjak dari ranjang.
“Dik? Mau ke mana, Dik?”
Pras mengikuti langkah kaki Juminten. Ia melihat raut geram yang sedang dengan gegas membuka jendela kamar. Pras pun langsung memeluknya dari belakang.
“Mas, jangan keluar ya?” celetuk Juminten dengan air mata yang mulai merambat pelan.
“Memangnya kenapa to, Dik? Mas kan masih bisa cari kerjaan lain. Sampai menemukan yang nyaman, Mas kan juga bisa nemenin kamu lama-lama di rumah?”
“Aku malu, Mas! Pokoknya Mas jangan keluar!” gertak Juminten sembari melepas pelukan Pras.
“Dik, percaya deh sama Mas. Nanti ... ” ujar Pras belum usai.
“Kita itu butuh duit, Mas. Nanti kalau salah satu dari kita ada yang sakit dan butuh duit banyak, siapa yang mau tanggung jawab?! Jatahnya bisa sembuh cepat, malah jadi lama!” potong Juminten dengan emosi.
“Kan ada Gusti, Dik. Dia yang memberi, Dia juga yang menyembuhkannya. Jangan meragukanNya Dik, Dia selalu bersama kita.”
“Jangan sombong, Mas! Tanpa usaha, Gusti juga enggak akan ngabulin doa Mas dengan mudah. Berdoa tiap hari tapi enggak ada usahanya ya sama aja bodong!” rajuk Juminten dengan penuh amarah.
“Dik, jangan menghakimi Gusti dong. Kita itu seharusnya mencintaiNya, bukan malah menilaiNya dengan tolak ukur kita. Jangan suuzan sama Gusti, nanti Dia marah lho?”
“Pokoknya kalau Mas keluar, aku juga keluar!” bentak Juminten dengan acungan tangan ke luar jendela.
Suasana semakin panas. Juminten, yang sebelumnya hanya merayu dan merayu kini berubah menjadi gertakan yang mengejutkan. Pras pun bingung, dia hanya bisa sabar dan mencari segala cara untuk mendinginkan istrinya.
“Dik, Mas itu capek. Gaji Mas dengan pekerjaan Mas enggak seimbang. Belum lagi ada beberapa senior yang semena-mena, entah dari omongannya ataupun prilakunya. Mas enggak nyaman, Dik.”
“Lalu Mas mau kerja apa?! Udah tau dapet seragam bagus, malah enggak betah. Harusnya dibetah-betahin dong kalau sayang istri!”
“Dik, maafin Mas. Tapi Mas tetap akan keluar. Mas enggak bisa terus-terusan berada ditempat yang membuat Mas enggak nyaman. Daripada Mas sakit gara-gara banyak pikiran, mending Mas cari haluan kan?”
Juminten sangat tidak terima, impiannya menjadi istri seorang pegawai hanya seketika karena keputusan sepihak dari Pras. Ia pun bergegas mengambil beberapa pakaian di lemari dan memaksa Pras untuk mengantarkannya ke rumah ibunya.
***
“Nduk, kamu tidak pulang saja? Kasihan lho Pras nungguin kamu,” rayu Bu Inah, ibu dari Juminten.
“Males, Bu. Mas Pras egois! Dia enggak mikirin aku!” murung Juminten di depan jendela.
“Lha, emangnya kamu juga tidak egois? Tiba-tiba ninggalin Pras sendirian, kamu itu Istrinya lho, Nduk.”
“Gimana lagi, Mas Pras bikin malu aja! Aku tuh sudah pamerin foto kami saat mas Pras pakai seragam ke teman-temanku, Bu. Mereka semua kagum dan iri kepadaku. Lha sekarang kok tiba-tiba Mas Pras udah enggak pakai seragam itu lagi. Apa kata temen-temenku nanti, Bu?!” keluh Juminten dengan cemberut.
“Nduk, dulu sebelum Bapakmu pergi, Pras ijin untuk sepenuhnya menyayangi kamu. Kami pun setuju karena kesungguhan Pras sudah terlihat dari tindak tanduk dan latar belakang orang tuanya. Kalau Pras mengkasari kamu, ibu pasti akan marah besar karena ia telah mengingkari janjinya. Lha sekarang, malah kamu yang ninggalin Pras karena obsesimu,” sahut Bu Inah dengan nada lirih.
“Emang Ibu enggak malu kalau Mas Pras jadi pengangguran?”
“Ibu jauh lebih malu kalau kamu enggak bisa dampingi Pras di saat titik terendahnya. Seorang istri itu bagaikan pakaian, selalu ada untuk menghangatkan dan melindungi aib-aib suami dengan solekan indah di pernak-perniknya. Kewajibanmu itu adalah bakti kepada Pras, dan hakmu itu adalah kebahagiaan yang dirasakan Pras. Sekarang kamu siap-siap pulang, Pras sudah menunggumu di depan rumah Ibu dari tadi.”
Air mata Juminten mengalir deras setelah mendengar petuah dari ibunya. Ia kembali sadar tentang fungsinya sebagai istri. Kini ia memilih untuk kembali patuh dan lebih abdi kepada pilihannya yang telah menjadikannya seorang istri. Juminten pun kembali pulang bersama Pras yang sudah menunggunya beberapa jam di teras rumah Bu Inah.
*****
Judul : Cepat Keluar
Penulis : Joe Azkha
Tahun : 2020