Merekapun terus berbincang hingga beberapa saat. Walau pada akhirnya mereka berpisah dengan tidak menemukan titik temu dalam pembicaraan. Namun entah kenapa cewek tersebut tanpa sadar mampu meredakan emosi Aska yang saat itu sedang sangat kacau. Hal itu membuat Aska terus terngiang tentangnya.
Sehari setelah kejadian itu, tujuan Aska untuk berangkat kuliah sudah berubah. Ia tak lagi mencari dosen pembimbing melainkan mencari seseorang. Yakni seorang yang belum sempat ia kenal namun telah menghuni di dalam pikirannya.
Celingak-celinguk, berharap bertemu kembali dengan seseorang yang ia cari. Tak kunjung temu, Aska malah melihat Kina yang sedang murung di depan ruang dosen.
“Napa lu cemberut gitu? Ga dapet uang saku ya? Hahaha,” canda Aska.
Kina terlihat masih murung tak terbantahkan. Aska terus menggodanya karena memang Kina merupakan salah satu teman terdekat yang pernah ia dapati sedari OSPEK.
Aska terus mencoba menghilangkan raut muram pada wajah Kina. Sesekali Aska menggunakan guyonan yang sebenarnya sangat lucu, namun entah mengapa raut sendu Kina tak kunjung reda. Tak lama kemudian terjadi sesuatu hal yang tak terduga.
“Plak!!”
Karena merasa terusik, Kina reflek menampar wajah Aska dengan cukup keras. Jiplakan tangan pun mulai tampak secara perlahan di wajah kiri Aska.
“Napa lu tampar wajah indah gue!” teriak Aska karena kaget mendapat rejeki tak terduga.
Kina pun menatap Aska dengan mata berlinang. Ia tampak begitu hancur. Ukiran di wajahnya menandakan bahwa tak ada tampak aura ceria seperti hari-hari biasanya.
Seketika itu Kina langsung lari meninggalkan Aska tanpa sepatah kata pun. Aska sadar bahwa Kina sedang tertimpa masalah yang cukup serius. Namun Aska tak mengetahui apapun, karena Kina tidak bercerita sama sekali kepadanya.
“Yaelah, cewek aneh. PMS kaga bilang-bilang, tau gitu tadi diem aja,” gumam Aska dalam hati.
Aska pun mengabaikan Kina. Ia kembali mencari seseorang yang telah menjadi tujuannya ketika hendak berangkat ke kampus.
Perpustakaan ia kelilingi dan masuki beberapa kali. Ia kelilingi juga kantin kampus yang cukup luas beberapa kali namun tetap saja tak temu apa yang ia mau. Kebuntuan tersebut memaksa Aska untuk bertanya kepada seseorang.
“Mba, liat ada cewek yang pake jilbab coklat ga?” tanya Aska kepada mbak-mbak kantin.
“Lah, lu mata bermasalah apa? Lha ini di depan lu apaan?!”
“Bukan, mba. Tapi yang kemarin pake jilbab coklat.”
“Lah, kemarin aku juga pake jilbab coklat ini. Sudah satu minggu aku belum lepas. Aku merasa sangat begitu anggun saat pake ini jilbab, serasa seperti selebsgram gitu. Aaaawww,” sahut mbak-mbak kantin dengan ke-PD-an yang maksimal.
“Anjay, beginian dianggep cakep. Yang jelek kek gimana?!” batin Aska.
“Kamu udah makan? Sini makan dulu, nanti kamu sakit lho,” rayu mbak-mbak kantin dengan nada lembut.
Tiba-tiba hati Aska bergetar. Pitch control mbak-mbak kantin membuat hati Aska terasa sejuk. Ia pun terbuai untuk mencicip satu demi satu setiap menu yang ditawarkan hingga matahari terbenam.
“Gila! Kehabisan waktu di kantin butut ga jelas! Ngapain juga gue harus makan makanan yang gak enak sama sekali!” sesal Aska yang telah kenyang sampai-sampai tinggalkan banyak hutang. “Besok, aku harus teguh dan harus menemukannya!”.
Ia pun pulang dengan rasa sebal. Sendirian diterpa angin senja yang menyebu di paru-parunya. Kegagalan hari ini membuatnya merasa sangat kesal dan kenyang.