Tanpa menengok ke arah Aska, Bu Pina langsung meninggalkannya tanpa kata. Sebenarnya, Bu Pina dikenal sebagai dosen yang sangat kejam. Namun entah kenapa kali ini sepertinya ia telah memaafkan tindakan bodoh Aska begitu saja. Buktinya, ia tidak langsung memarahi Aska di tempat. Mungkin ia takut kalau kejadian tersebut diketahui oleh orang lain, dan membongkar masa lalunya begitu saja.
Sekeliling tempat itu tampak sepi, makannya tidak ada satupun orang yang menolong Aska untuk keluar dari selokan. Sampai pada akhirnya beberapa belas menit kemudian Aska keluar sendiri tanpa ada satu orang pun yang datang.
“Eh, Indah!”
Aska teringat akan suatu hal, yaitu janji kepada seorang cewek di kamar mandi Sastra. Langsung saja dengan gegas ia berlari tanpa peduli bahwa badannya begitu kotor dan bau.
Sesampainya di kamar mandi Sastra, ia tak menemukan adanya tanda-tanda kehidupan. Hanya terdengar bunyi tetesan air dari kran yang bocor.
“Hmfff… kok bau tai sih, kalau mandi jangan salah ambil air dong boss! Air kloset buat mandi!” ujar seorang cowok yang tiba-tiba datang dan pergi begitu saja setelah mencium aroma tubuh Aska.
“Iri bilang bos!”
Aska tak menyadari bahwa betapa bau dirinya setelah mendapati insiden menyakitkan sebelumnya. Tidak ada yang lebih baik dari orang lain untuk menilai diri sendiri.
“Indah mana sih, janji diingkari!” seketika itu Aska langsung membuka ponsel dan menelpon Indah. “Haloo, Ndah! Gimana sih, katanya...” ujar Aska belum rampung.
“Ini udah jam setengah sembilan bego! Ditungguin dari tadi malah ga nongol-nongol. Nanti malam saja, kita ketemuan di halte depan kampus jam 7!” ujar Indah dengan sedikit nada tinggi.
“Tapi, Ndah…”
“tut.. tut.. tut…”
“Haloo? Haloo, Ndah? Halo…”
Sahutan Aska tak digubris, membuatnya super galau dan memutuskan untuk pulang ke rumah. Penyesalan pun menyelimuti Aska dalam perjalanan pulang. Ia terngiang tentang kegagalan akan impian yang ia cita-citakan sebelum keberangkatan ke kampus kesayangan.
Saat perjalanan, banyak sekali cemooh yang tertuju ke dirinya karena penampilan dan bau badannya. Banyak sekali kotoran-kotoran dari selokan yang menempel di pakaian maupun tas yang dikenakannya. Namun, semua itu tidak di gubris oleh Aska karena sedang fokus meratapi sebuah penyesalan. Perasaannya saat itu seperti balon warna hijau dilagu balonku, pecah.
“Kenapa sih aku ga bisa tepat waktu! Padahal udah bangun sebelum jam tujuh! Payah!” kesal Aska sendirian diperjalanan pulang.
Aska tak sadar bahwa dia tidak punya kendaraan, untuk itu dibutuhkan waktu yang lebih banyak untuk tiba di suatu tempat. Walau sebenarnya rumah Aska dan kampus bisa dibilang cukup dekat, bisa ditempuh dalam waktu setengah jam jika lari dalam kecepatan penuh. Namun ia kehabisan waktu karena meronta-ronta di dalam selokan selama satu jam lebih.
“Eh, jam tujuh?! Iya jam tujuh! Yihaaaaaaaaa...” sadar Aska seketika.
Berubah 180 derajat, wajah yang sebelumnya termenung menjadi tergirang karena ingat akan suatu hal. Aska pun langsung berjingkrak-jikrak di jalan pulang. Ia tak peduli bahwa banyak orang yang menganggapnya gila, karena kotor dan bau akan kotoran dari tubuhnya.